“Rasa sakit tidak selamanya tidak berharga, sehingga ia harus selalu dibenci. Kerana, mungkin sahaja rasa sakit itu sebaliknya akan mendatangkan kebaikan bagi seseorang”
Biasanya, keikhlasan sebuah doa muncul tatkala rasa sakit menimpa. Demikian pula dengan keikhlasan tasbih yang sentiasa terucap saat rasa sakit terasa. Adalah jerih payah dan beban berat saat menuntut ilmulah yang telah menjadikan seorang pelajar menjadi ilmuwan terkemuka. la telah bersusah payah di awal perjalanannya, sehingga ia bisa menikmati kesenangan di akhirnya.
Usaha keras seorang penyair memilih kata-kata untuk bait-bait syairnya telah menghasilkan sebuah karya sastera yang sangat menawan. Ia, dengan hati, urat syaraf dan darahnya, telah larut bersama kerja kerasnya itu, sehingga syair- syairnya mampu menggerakkan perasaan dan menggoncangkan hati. Upaya keras seorang penulis telah menghasilkan tulisan yang sangat menarik dan penuh dengan 'ibrah (pengajaran) , contoh-contoh dan petunjuk.
Lain halnya dengan seorang pelajar yang senang hidup berfoya-foya, tidak aktif, tidak pernah diundang masalah dan tidak pula pernah tertimpa musibah. la akan selalu menjadi orang yang malas bergerak dan mudah putus asa.
Seorang penyair yang tidak pernah merasakan pahitnya berusaha dan tidak pernah meneguk pahitnya hidup, maka untaian qasidah-qasidah- nya hanya akan terasa seperti kumpulan kata-kata murahan yang tidak bernilai. Sebab, qasidah-qasidah- nya hanya keluar dari lisannya, bukan dari perasaannya. Apa yang dia utarakan hanya sebatas pertimbangannya saja, dan bukan dari hati nuraninya.
Contoh kehidupan yang paling baik adalah kehidupan kaum mukminin generasi awal. Iaitu, mereka yang hidup pada masa-masa awal kerasulan, lahirnya agama dan di awal masa perutusan. Mereka adalah orang-orang yang memiliki keimanan yang kukuh, hati yang baik, bahasa yang sederhana dan ilmu yang luas. Mereka merasakan keras dan pedihnya kehidupan. Mereka pernah merasa kelaparan, miskin, diusir, disakiti dan harus rela meninggalkan semua yang dicintai, disiksa, bahkan dibunuh. Dan karena semua itu pula mereka menjadi orang-orang pilihan. Mereka menjadi tanda kesucian, panji kebajikan dan simbol pengorbanan.
“Tidaklah patut bagi penduduk madinah dan orang-orang sekeliling mereka dari orang-orang A’arab ketinggalan daripada (turut berperang bersama) Rasulullah, dan tidaklah patut mereka mengasihi diri mereka sendiri dengan tidak menghiraukan Rasulullah. Yang demikian kerana sesungguhnya (tiap-tiap kali) mereka merasai dahaga dan merasai penat lelah dan juga merasai lapar (dalam perjuangan) pada jalan Allah, dan (tiap-tiap kali) mereka menjejak sesuatu tempat yang menimbulkan kemarahan orang-orang kafir, dan juga (tiap-tiap kali) mereka menderita sesuatu yang mencederakan dari pihak musuh-melainkan itu semua ditulis bagi mereka (pahala) amal yang soleh. Sesungguhnya Allah tidak menghilangkan pahala orang-orang yang berusaha memperbaiki amalannya ”
(QS. At-Taubah: 120)
Di dunia ini banyak orang yang berhasil mempersembahkan karya terbaiknya disebabkan mahu bersusah payah. Al Mutanabbi, misalnya, ia sempat mengidap rasa demam yang amat berat sebelum berhasil menciptakan syair yang indah berikut ini:
Wanita yang mengunjungiku seperti memendam malu, ia hanya mengunjungiku di gelapnya malam
Malahan an-Nabighah sempat diancam akan dibunuh oleh Nu'man ibn al-Mundzir sebelum akhirnya mempersembahkan bait syair berikut ini:
Engkau matahari dan raja-raja yang lain bintang-bintang, tatkala engkau terbit ke permukaan, bintang-bintang itu pun lenyap tenggelam
Di dunia ini, banyak orang yang kaya kerana terlebih dahulu bersusah payah dalam masa mudanya. Oleh kerana itu, tidak usah bersedih bila anda harus bersusah payah dan tidak usah takut dengan beban hidup, sebab mungkin sahaja beban hidup itu akan menjadi kekuatan bagimu serta akan menjadi sebuah kenikmatan pada suatu hari nanti. Jika anda hidup dengan hati yang berkobar, cinta yang membara dan jiwa yang bergelora, ianya akan lebih baik dan lebih terhormat daripada harus hidup dengan perasaan yang dingin, semangat yang layu dan jiwa yang lemah.
“Tetapi Allah tidak menyukai kepergian mereka, maka dilemahkanNya semangat mereka, dan dikatakan (oleh syaitan) "Tinggallah kamu bersama orang-orang yang tinggal"
(QS. At-Taubah: 46)
Saya teringat seorang penyair yang sentiasa menjalani kesengsaraan hidup, menanggung cubaan yang tidak ringan, dan mengenyam pahitnya perpisahan. Sebelum menghembuskan nafasnya yang terakhir, ia sempat melantunkan qasidah yang indah, segar, dan jujur. Dialah Malik ibn ar-Rayyib. Ia meratapi dirinya:
Tidakkah kau lihat aku menjual kesesatan dengan hidayah dan aku menjadi seorang pasukan Ibnu Affan yang berperang. Alangkah indahnya aku, tatkala aku biarkan anak-anakku taat dengan mengorbankan kebun dan semua harta-hartaku Wahai kedua sahabat perjalananku, kematian semakin dekat berhentilah di tempat tinggi sebab aku akan tinggal malam ini. Tinggallah bersamaku malam ini atau setidaknya malam ini jangan kau buat lari ia, telah jelas yang akan menimpa Goreslah tempat tidurku dengan ujung gerigi dan kembalikan ke depan mataku kelebihan selendangku Jangan kau iri, semoga Allah memberkahi kau berdua dari tanah yang demikian lebar, semoga semakin luas untukku
Demikianlah, ungkapan-ungkapanny a demikian syahdu, penyesalan yang sangat berat diucapkan, dan teriakan yang memilukan. Itu semua menggambarkan betapa kepedihan itu meluap dari hati sang penyair yang mengalami sendiri kepedihan dan kesengsaraan hidup. Ia tak ubahnya seorang penasihat yang juga pernah merasakan apa yang ia ucapkan. Dan, biasanya, perkataan atau nasihat orang seperti itu akan mudah masuk ke dalam relung kalbu dan meresap ke dalam roh yang paling dalam. Semua itu adalah kerana ia mengalami sendiri kehidupan pahit dan beban berat yang ia bicarakan.
“Maka (dengan itu) ternyata apa yang sedia diketahui-Nya tentang (kebenaran iman dan taat setia) yang ada di dalam hati mereka, lalu ia menurunkan semangat yang tenteram kepada mereka, dan membalas mereka dengan kemenangan yang dekat masa datangnya ”
(QS. Al-Fath: 18)
Jangan cela orang yang sedang mabuk cinta dalam kemabukannya hingga belitan kuat deritamu beralih ke dalam deritanya
Saya banyak menemui syair-syair yang kering dan hambar, tidak hidup dan tidak ada rohnya. Itu mungkin kerana kata-kata yang teruntai dalam bait-bait tersebut bukan terbit dari sebuah pengalaman peribadi sang penyair, tetapi suatu dikarang dan direka-reka dalam aura kesenangan. Karya-karya yang demikian itu tidak ubahnya dengan potongan-potongan ais dan bongkahan-bongkahan tanah; sejuk dan hambar.
Saya juga pernah membaca karangan-karangan yang berisi nasiha-tnasihat yang sedikit pun tidak mampu menggerakkan hujung rambut orang yang mendengarkannya dan tidak mampu menggerakkan satu titik atom pun dalam tubuhnya. Semua itu, tidak lain kerana nasihat-nasihat itu tidak terucap dari mulut seseorang yang langsung pernah mengalami dan menghayati sendiri suatu kesedihan dan kesengsaraan.
“Mereka selalu menyebut dengan mulutnya apa yang tidak ada dalam hatinya”
(QS. Ali 'Imran: 167)
Agar ucapan dan syair anda dapat menyentuh hati pembacanya, masuklah terlebih dahulu ke dalamnya. Sentuhlah, rasakanlah dan resapilah; nescaya anda akan mampu memberikan sentuhan ke tengah masyarakat.
“Kemudian apabila telah Kami menurunkan hujan menimpanya (dengan tumbuh-tumbuhan yang merecup tumbuh), dan gembur membusutlah ia, serta ia pula menumbuhkan berjenis-jenis tanaman yang indah permai”
(QS. Al-Hajj: 5)
regards: remaja masjid